LANGKAH MENUJU PEMBENTUKAN
Hari itu, Sabtu, tanggal 2 April 2005, Menteri Dalam Negeri RI Moh. Ma’ruf untuk pertama kalinya menginjakkan kakinya di Kabupaten Solok dalam satu agenda penting , yakni meresmikan Ibu Kota Kabupaten Solok yang bernama Arosuka.
Bagi masyarakat Solok, sebetulnya bukan kehadiran Mendagri itu benar yang dipandang surprise, tetapi lebih sensasional hakekatnya justru peresmian
Konon jadwal peresmian ibukota Arosuka ini telah mengalami maju mundur.
Kita tentu tidak ingin berburuk sangka dengan ketidak pastian jadwal ini. Tetapi dari sudut pandang positif kita melihat betapa masyarakat Kabupaten Solok menyambut momentum ini sebagai sebuah fenomena besar di penghujung kepeimpinan Bupati (waktu itu) H. Gamawan Fauzi Dt. Rajo nan Sati, SH,MM.
Betapa tidak, sejak dunia terbentang, atau katakanlah sejak Kabupaten Solok diakui sebagai salah satu wilayah adminitratif di
Pada suatu periode, mungkin untuk mempertegas jatidiri Kabupaten Solok, maka pengambil kebijakan di daerah ini memindahkan pusat pemerintahan kabupaten Solok ke Koto Baru.
Awalnya memang rancak dan dipandang cukup strategis. Namun setelah
Desakan lain yang cukup krusila adalah soal pengembanga pusat perkantoran yang terkendala oleh lahan di sekitar nagari Koto Baru yang umumnya cenderung sangat produktif.
Atas berbagai pertimbangan, baik dari aspek sosial, budaya dan politis, termasuk dalam upaya mengejar masa depan yang lebih baik bagi sebuah kemajuan, maka dengan memakai falsafah: Bajanjang naiak-batanggo turun, Pemerintah Kabupaten Solok dengan sangat arif menampung aspirasi masyarakat sebagai pemegang utama kedaulatan.
Dengan memakai nama Acara Duduuak Basamo (ADB) untuk menandai sebuah musyawarah dalam menarik aspirasi dan partisipasi berbagai elemen masyarakat, tersimpulkan bahwa pembangunan sebuah ibu
ADB itu sendiri tidak dilakukan sekali saja. Bahkan untuk menentukan wilayah mana yang bakal dipancang sebagai pengembangan
Kala itu, sebuah seminar besar di gelar dengan mendatangkan berbagai pakar, disamping tentunya tetap melibatkan tokoh-tokoh dan komponen masyarakat. Artinya, ditegaskan kembali, pemberian nama ibukota Arosuka, tidak merupakan keputusan sepihak, melainkan kebijakan publik secara luas.
Lantas apa yang salah dengan nama Arosuka? Entahlan!
Tetapi kita patut menaruh hormat kepada salah seorang tokoh ninik-mamak nagari Koto Gadang-Guguk yang masih bisa melihat Ibu Kota Arosuka dengan kaacamata bening. Syamsurizal Datuk bandaro Kayo, penghulu suku Sinapa itu dengan bahasa meledak meletup menghimbau warga agar jangan melihat satu persoalan dengan kacamata hitam, karena hasilnya akan hitam. Tetapi dengan memakai kacamata putih, kata dia, Arosuka pasti dapat dilihat seperti kapas.
Jujurlah saja, kata Dt. Bandaro Kayo, siapa mengira perkembangan kawasan Aroskuka mampu menggeliatkan perekonomian masyarakat dan penuh dinamika. Dari sudut itu saja, sepatutnyalah semua kita bersyukur dan mengucapkan terimakadsih kepada Pemerintah kabupaten Solok.
Memang, pantas sekali mak Datuk. Fenomena Arosuka memang telah mampu menghidupkan perekonomian warga sekitar. Itu baru satu aspek saja dari banyak keuntungan yang diperooeh sejak Arosuka berkembang menjadi kawasan ibukota Kabupaten Solok. ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar