Laman

17 September 2008

NAN TAKANA

LANGKAH MENUJU PEMBENTUKAN KOTA AROSUKA

Hari itu, Sabtu, tanggal 2 April 2005, Menteri Dalam Negeri RI Moh. Ma’ruf untuk pertama kalinya menginjakkan kakinya di Kabupaten Solok dalam satu agenda penting , yakni meresmikan Ibu Kota Kabupaten Solok yang bernama Arosuka.

Bagi masyarakat Solok, sebetulnya bukan kehadiran Mendagri itu benar yang dipandang surprise, tetapi lebih sensasional hakekatnya justru peresmian kota Arosuka itu sendiri.

Konon jadwal peresmian ibukota Arosuka ini telah mengalami maju mundur. Para panitia yang kebanyakan dari kalangan birokrat kalang kabut menentukan jadwal yang tidak pernah tepat.Pertama dijadwalkan tanggal 28 Aril, kemudian dimajukan tanggal 26, karena alasan keterbatasan waktu pak mentri. Tetapi pas persiapan sudah agak rampung, tiba-tiba mundur lagi menjadi tanggal 2 April 2005.

Kita tentu tidak ingin berburuk sangka dengan ketidak pastian jadwal ini. Tetapi dari sudut pandang positif kita melihat betapa masyarakat Kabupaten Solok menyambut momentum ini sebagai sebuah fenomena besar di penghujung kepeimpinan Bupati (waktu itu) H. Gamawan Fauzi Dt. Rajo nan Sati, SH,MM.

Betapa tidak, sejak dunia terbentang, atau katakanlah sejak Kabupaten Solok diakui sebagai salah satu wilayah adminitratif di Indonesia, daerah ini tidak pernah mengenal wilayah perkotaan. Memang pernah dalam suatu literatur, seperti misalnya di buku pelajaran Sekolah Dasar, ibukota Kabupaten Solok dicantumkan Kota Solok. Tetapi sejak kota beras itu berkembang menjadi sebuah daerah tingkat II Kota Madya Solok tahun 1976, maka pencantelan ibukota Kabupaten Solok nyaris tenggelam oleh perkembangan dan dinamika kota itu sendiri.

Pada suatu periode, mungkin untuk mempertegas jatidiri Kabupaten Solok, maka pengambil kebijakan di daerah ini memindahkan pusat pemerintahan kabupaten Solok ke Koto Baru.

Awalnya memang rancak dan dipandang cukup strategis. Namun setelah malang melintang beberapa tahun, ternyata perkembangan sebuah daerah menuntut kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak bisa dihindari., Kebutuhan pertama tentulah soal space atau jarak antara piusat pemerintahan Kabupaten Solok dengan wilayah-wilayah pinggiran.

Desakan lain yang cukup krusila adalah soal pengembanga pusat perkantoran yang terkendala oleh lahan di sekitar nagari Koto Baru yang umumnya cenderung sangat produktif.

Atas berbagai pertimbangan, baik dari aspek sosial, budaya dan politis, termasuk dalam upaya mengejar masa depan yang lebih baik bagi sebuah kemajuan, maka dengan memakai falsafah: Bajanjang naiak-batanggo turun, Pemerintah Kabupaten Solok dengan sangat arif menampung aspirasi masyarakat sebagai pemegang utama kedaulatan.

Dengan memakai nama Acara Duduuak Basamo (ADB) untuk menandai sebuah musyawarah dalam menarik aspirasi dan partisipasi berbagai elemen masyarakat, tersimpulkan bahwa pembangunan sebuah ibu kota memang sangat mendesak untuk Kabupaten Solok.

ADB itu sendiri tidak dilakukan sekali saja. Bahkan untuk menentukan wilayah mana yang bakal dipancang sebagai pengembangan kota, termasuk kemudian ketika hendak menentukan nama dan core ibu kota itu sendiri, juga merupakan cerminan dari kehendak masyarakat luas.

Kala itu, sebuah seminar besar di gelar dengan mendatangkan berbagai pakar, disamping tentunya tetap melibatkan tokoh-tokoh dan komponen masyarakat. Artinya, ditegaskan kembali, pemberian nama ibukota Arosuka, tidak merupakan keputusan sepihak, melainkan kebijakan publik secara luas.

Lantas apa yang salah dengan nama Arosuka? Entahlan!

Tetapi kita patut menaruh hormat kepada salah seorang tokoh ninik-mamak nagari Koto Gadang-Guguk yang masih bisa melihat Ibu Kota Arosuka dengan kaacamata bening. Syamsurizal Datuk bandaro Kayo, penghulu suku Sinapa itu dengan bahasa meledak meletup menghimbau warga agar jangan melihat satu persoalan dengan kacamata hitam, karena hasilnya akan hitam. Tetapi dengan memakai kacamata putih, kata dia, Arosuka pasti dapat dilihat seperti kapas.

Jujurlah saja, kata Dt. Bandaro Kayo, siapa mengira perkembangan kawasan Aroskuka mampu menggeliatkan perekonomian masyarakat dan penuh dinamika. Dari sudut itu saja, sepatutnyalah semua kita bersyukur dan mengucapkan terimakadsih kepada Pemerintah kabupaten Solok.

Memang, pantas sekali mak Datuk. Fenomena Arosuka memang telah mampu menghidupkan perekonomian warga sekitar. Itu baru satu aspek saja dari banyak keuntungan yang diperooeh sejak Arosuka berkembang menjadi kawasan ibukota Kabupaten Solok. ****

AROSUKA KOTA TAMAN YANG DEMOKRATIS

Seorang pujangga Inggris sekelas William Shakespeare meninggalkan pesan, Apalah arti sebuah nama. Tetapi bagi masyarakat Kabupaten Solok, nama ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan Shakespeare.

Seperti menyambut proses kelahiran, begitulah wujud kepedulian warga daerah ini dalam mencarikan nama buat ibu kota kabupaten Solok, setelah perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Solok ke kawasan Kayu Aro-Sukarami.

Tetapi bagi anda yang tidak sempat mengikuti prosesi penentuan nama dan core ibu kota Kabupaten Solok, tak apa kiranya kalau kita rekostruksikan kembali.

Dulu, Senin dan Selasa (23-24 Juni 2003), entah menghabiskan berapa biaya, diadakanlah acara duduk bersama yang orang kini menyebutnya dengan seminar. Intinya untuk untuk menampung berbagai aspirasi masyarakat dan bahkan para pakar bagai, hanya untuk memilih nama yang sesuai dan core (semacam identitas yang akan dikembangkan untuk mencirikannya sebagai sebuah kota baru yang spesifik) ibukota itu sendiri.

Orang yang datang hebat-hebat semua waktu itu. Sejumlah pakar lintas ilmu dihadirkan untuk menyampaikan telaahnya. Masih segar dalam ingatan, betapa sejumlah orang pintar hadir waktu itu, sebutlah seperti Ir. S. Budi Algamar,MURP (Sekretaris Dirjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil), Ir. Dodo Juliman (Direktorat Perumahan dan Pemukiman Kementrian Kimpraswil), Ir. Irsyad agus.MP ( Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Andalas ) dan Gusmal Dt. Radjo Lelo, SE,MM (Ketua LKAAM Kabupaten Solok), serta sejumlah pakar lingkungan hidup dari Bapedalda Sumbar.

Turut pula menyampaikan makalah waktu itu tokoh LSM dan pemerhati masalah sosial kemasyarakatan,serta Ketua Koperasi Equator Minang Media, Zukri Saad. Sedangkan dari pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Solok, seminar ini langsung dihadiri secara penuh oleh Bupati Gamawan Fauzi dan Wakil Bupati Elfi sahlan ben, Apt serta

ajaran pejabat lainnya. Disamping itu, seluruh walinagari, Ketua KAN, tokoh masyarakat, LSM dan pers turut aktif mengikuti seminar ini.

Kata Budi Algamar waktu itu, dengan adanya proses pemindahan ibu kota Kabupaten Solok, selayaknya mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan ekonomi yang saling terkait erat. Terutama kaitannya dalam mobilitas penduduk yang diprediksi akan cukup besar, sehingga membutuhkan ruang kota dan penyediaan prasarana sarana yang memadai.

Sementara Zukri Saad meninjau positif dari apek pelaksanaan seminar buat menentukan nama dan core ibukota Kabupaten. Menurut Zukri, satu-satunya daerah yang langsung melibatkan masyarakat dalam sebuah seminar untuk menentukan nama dan core ibukota baru Kabupaten Solok.

“Ini sebuah sikap transparansi yang bermanfaat untuk menumbuhkan partisipasi warga.” ujar aktivis LSM yang juga mengaku sebagai petani dataran tinggi tersebut.

Karena pandangan demikian, Zukri Saat menganjurkan, dalam pengembangan dan penataan wilayah ke depan, mestinya Pemkab. Solok harus mampu membuat core ibukota yang permanen, sehingga dalam waktu 20 atau 50 tahun kemudian tetap terjaga identitasnya.

Seminar selain membicarakan masa depan Kabupaten Solok, juga mempertimbangkan plus-minus dari dampak pengembangan wilayah di kawasan Sukarami-Kayu Aro. Seperti diungkapkan oleh Irsyad Agus, pengembangan daerah Sukarami-Kayu Aro sebagai kawasan ibukota Kabupaten Sook, memberi konsekwensi terjadinya perubahan luas lahan yang selama ini mempunyai nilai konversi.

Sekaitan dengan ini, dikhawatirkan mempengaruhi debit air pada sungai yang akan mengalir ke Batang sumani. Guna mensiasati fenomena demikian, Irsyad Agus mengingatkan agar pemkab. Solok memperhatikan daya dukung lingkungan dan menjaga keutuhan fungsi ekologis kawasan ini dengan melakukan pembatasan areal terbuka yang akan digunakan untuk kawasan pembangunan.

Motivasi dilakukannya penetapan core ibukota Kabupaten Solok, sama halnya dengan tendensi mencari identitas atau nama ibukota itu sendiri. Selama ini, sebut Gamawan, ibukota Kabupaten Solok secara yuridis formal masih kota Solok. Sejak dulu belum berubah, kendati telah dua kali pusat pemerintahan kabupaten Solok pindah ke dua lokasi berbeda, yakni Koto Baru dan sekarang ke Kayu Aro.

Karena alasan tersebut, masyarakat dan Pemkab. Solok sendiri mesti berupaya menentukan ibukota kabupaten yang permenan dan menentukan arah kota itu sendiri. “Mau dibawa ke mana ibu kota Kabupaten Solok, itu harus melalui kesepakatan antara elemen masyarakat dan pemerintah itu sendiri, “ ujar Gamawan Fauzi.

Ternyata, dalam hal menetapkan nama tidak semudah yang disangka. Bayangkan, dari 25 nama yang mengapung, pada sesi terakhir seminar hanya tersaring lima nama serta tiga core yang akan diusulkan kepada pemerintah setempat untuk kemudian diteruskan ke DPRD, itupun setelah melalui voting dari sekitar 300 peserta.

Ke lima nama yang diusulkan adalah Kayu Aro-Sukarami, Kayu Aro, Sungai Nyalo, Sukarami dan Koto Selasih. Sedangkan core kota yang direkomendasikan adalah “Kota Sehat”, “Kota Sejuk” dan “Kota Taman”.

Demkianlah, sehingga akhirnya ditetapkan AROSUKA sebagai nama ibu kota kabupaten Solok dan KOTA Taman sebagai CORE kota itu sendiri. Bahkan tanggal 13 Mei 2004, nama ibukota Kabupaten Solok ini pun “dijual”kepada tim Survey Interdep Pusat. Hasilnya, seperti yang diungkapkan oleh Ketua Tim Interdep M.Najib,kala itu, bahwa calon ibukota Kabupaten Solok di Arosuka sudah tertata dengan baik dan nyaris sempurna, jika dihubungkan dengan aspek ruang dan jarak, dua aspek yang menjadi pertimbangan dalam melakukanpengembangan wilayah.

“ Infrastruktur calon Ibukota Kabupaten Solok sudah tertata, sehingga pengesahan nama ibukota ini hanya menunggu persetujuan saja, “ ujar M. Najib.

Tim Interdep menilai demikian karena boasanya rencana pemindahan sebuah ibukota belum ada infrastrukturnya,kecuali hanya sebuah rencana dengan lokasi yang belum tertata. Beda dengan Kabupaten Solok, masyarakat bersama Bupati dan DPRD sudah mempersiapkan kearah itu. “ Jadi tidak akan membutuhkan waktu lama menunggu pengesahan nama Aro Suka menjadi ibu kota kabupaten , “ tambahnya meyakinkan

Tim Interdep yang terdiri dari M.Najib selaku ketua rombongan, beranggotakan Brigjend TNI Saudi Arsito, Ir. Toto Hendra, Drs. Dafril Ikhwan, Drs. Viktor, Ir. Edison Silalahi, Gunawan Suwantoro, SH, Pamungkas, S.Sos, Slamet S. Sos, serta Drs. Saur Panjaitan, M.Sc.

Alasan kenapa pemerintah Kabuapten Solok mengusulkan Arosuka sebagai nama Ibukota kabupaten Solok, lebih karena terjadinya perpindahan pusat pemerintahan itu sendiri. Disebutkan, ibukota Kabupaten merupakan kebiutuhan mendesak bagi pengembangan wilayah di Kabupaten Solok. Dengan pertimbangan ruang dan jarak yang memilki radius seimbang antara kawasan utara dan selatan dengan pusat pemerintahan, membuahkan pemikiran untuk melakukan relokasi pusat pemerintahan.

“ Kabupaten Solok juga perlu sebuah ibukota kabupaten yang secara defenitif dan yuridis memiliki keunggulan atau core tersendiri. Selama ini ibukota Kabupaten secara yuridis berada di Kota Solok, “papar Bupati Gamawan Fauzi,SH,MM.

Mengilustrasikan kembali perjalanan perpin dahan ibukota Kabupaten Solok, memakan waktu sekitar tiga dasawarsa sebelum akhirnya ditetapkan di Aro Suka. Permasalahan terjadi menyusul dimekarkannya nagari Solok sebagai daerah Kotamadia tanggal 16 Desember 1970. Perubahan status itu praktis menuntut perpindahan pusat pemerintahan kabupaten Solok ke Kota Baru pada tahun 1980.

Meski demikian, ibukota Kabupaten Solok masih tetap Kota Solok, walaupun pusat pemerintahan telah terkosentrasi di Kota Baru. Namun karena pertimbangan jarak yang relatif pendek antara Kota baru dan Kota Solok, sekitar 3 Km, sementara untuk pengmebangan kompleks perkantoran juga terganjal oleh sempitnya ruang, memaksa Pemkab. Solok mencari kawasan lain untuk pusat kegiatan pemerintahan yang defitif.

Tiga Alternatif

Memang sebelumnya ada usulan pembangunan kantor Bupati Solok di alihkan ke Sungai Nanam, Kecamatan Lembah Gumanti atau ke Muara Panas, Kecamatan Bukit Sundi. Tetapi dari berbagai aspek pertimbangan, diputuskan kemudian Kayu Aro-Sukarami menjadi ibukota kabupaten Solok yang kini diusulkan berubah nama menjadi Aro Suka.

Proses pengusulan perpindahan pusat pemerintahan ini tidak terlalu sulit. Setelah memperoleh persetujuan Gubernur Sumbar yang tertuang dalam surat Nomor: 136/2264/1997, tertanggal 22 Desember 1997, persetujuan DPRD Kabupaten Solok nomor 01 tahun 1998, tanggal 22 April 1998 tentang perpindahan ibukota kabupaten Solok dari Koto baru ke Sukarami, pihak pemkab. Solok lantas membuat RTRK sesuai SK Bupati nomor 402/Bup-2002.

Seiring dengan itu, juga dilakukan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) oleh Bill Konsultan, Gumanti dan Talang Marunduak Singkarak kecamatan X Koto Singkarak, berikut block plant oleh PT. Tribina Sekat Utama.

Sebelumnya juga telah dipersiapkan block blat, detail dan engenering design dibikin oleh konsultan Pembangunan Prima Dasa, perspektif kawasan, redesign work shop menjadi Sekretariat kantor Bupati dikerjakan PT. Astal Konsultan, Site Plant jalan dikerjakan PT.Indo sarana, RTRW Kabupaten oleh Santia Konsultan, master air bersih dikerjakan Siola Konsultan serta RDTR ibukota kabupaten diselesaikan oleh Indo Sarana Konsultan.

Secara geografis,menyusul pemekaran wilayah Kabupaten Solok Selatan, luas Kabupaten Solok kini hanya tinggal 3.738 KM2 dari luas sebelumnya sekitar 7.121 Km2. Dengan pemekaran tersebut, batas Kabupaten Solok pun ikut bergeser di sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten Solok Selatan, Barat dengan Kabupaten Pesisir Selatan, sebelah Utara dengan Pesisir Selatan, Padang dan Pariaman dan utara dengan Kabupaten Tanah Datar.

Yang ikut bergeser akibat pemekaran Solok selatan adalah jumlah punduduk dan jumlah kecamatan. Penduduk kabupaten Solok kini sebanyak 327.398 jiwa tersebar di 14 kecamatan dan 74 nagari.

Menuju Kota Demokratis.

Proses pemindahan sekaligus pebentukan wilayah perkotaan Arosuka sangat terencana dengan mengedepankan berbagai petimbangan yang bakal mengganjal, termasuk diantaranya mempersiapkan tataruang yang jelas. Kondisi itu mencerminkan betapa kekeliruan masa lalu yang dialami banyak daerah dalam pengembangan kota tidak terjadi pada saat pembangunan ibukota Kabupaten Solok.

Bila diamati situasi dan kondisi pertumbuhan kota-kota di Indonesia, kita senantiasa disuguhi pemandangan parsadoks perkotaan, yang menonjolkan perumahan dan sistim transportasi perkotaan itu sendiri. Pembangunan demi pembangunan saban waktu muncul gegap gempita seakan mewakili kepentingan mereka yang justru telah memiliki perumahan.

Situasi yang paling dominan membuat pusing tatkala melihat sistim transportasi kota yang bersileweran. Termasuk dalam halini bidang perdagangan, pertokoan dan perbelanjaan. Meski Arosuka belum memiliki fasilitas tersebut, tetapi kelak bakal mengarah kepada perkotaan yang sebenarnya. Tanpa diarahkan dari sekarang, kekhawatiran terhadap paradoks perkotaan akan menjelma menjadi kenyataan.

Menghindari bayangan demikian, kiranya perlu memakai kacamata Donal McDonal dalam merekomendasikan krisis perkotaan melalui gagasan “Kota Demokratis” , dimana setiap warga diberi kesempatan bicara tentang nasib dan masa depan kotanya, keberagaman mosaik masyarakat perkotaan harus diwadahi dan tercermin dalam tata ruang .Sehingga kota selalu bersifat jamak, tidak tunggal, dalampengertian rakyat harus diberi pilihan-pilihan alternatif secara terbuka.

Sejak pembentukan perkotaan Aro Suka, rekomendasi dekimian tampaknya telah dilakukan sebaik mungkin, termasuk diantaranya menghindari apa yang diungkapkan Nan Ellin dalam bukunya Postmodern Urbanism, yang mengatakan kesalahan pembangunan kota selama ini lebih kepada para pelaku dan penentu kebijakan perkotaan, yang cenderung mengabaikan rasa tempat (a sence of place) dan kentalan komunitas, melupakan akar dan asal-usul kota, melupakan keberagaman, serta kurang menyerap persepsi dan aspirasi masyarakat.

Dalam prespektif pengembangan kota Aro Suka kedepan, Pemkab. Solok selain terus menyerap aspirasi dan kehendak warganya, juga lebih mencerminkan gagasan Donal McDonal melalui gagasan “Kota Demokratis”, yang lebih menekankan pentingnya menggalakkan taman atau ruang-ruang terbuka untuk umum, sebagai wahana kontak sosial dalam berbagai skala kota. Taman mesti selalu dilihat sebagai surga perkotaan.

Pusat lingkungan yang sekaligus merupakan simpul jasa trasportasi seyogyanya masih dalam jarak-jarak jalan kaki, dengan jalan-jalan yang ramping. Paradigma kota yang berwawasan otomobilitas mesti diubah menjadi kota berwawasan aksebilitas. Pejalan kaki dan pengendara sepeda, wajib diprioritaskan,tulis Dobal Mc Donal.

Menghubungkan konsep pengembangunan perkotaan Aro Suka dengan teori Kota Demokratis yang disodorkan oleh Donal Mc Donal, terasa ada korelasi tujuan yang sama dalam pengembangan kota Taman di Kabupaten Solok.

Pengembangan Kota Aro Suka lebih mencerminkan suatu kerangka untuk tindakan-tindakan bagi terbentuknya suatu pembangunan lokal, yang diartikan sebagai penumbuhan suatu lokalitas secara sosial ekonomi dengan lebih mandiri, berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya, baik dari aspek sumber daya alam, kelembagaan, geografis, pendidikan,kewiraswastaan dan sebagainya.

Pada konteks sosio-ekonomi dan budaya berbeda, seperti pernah diungkapkan oleh Bupati Solok Gamawan Fauzi, di Eropa Barat atau Jerman khususnya, sebenarnya pengembangan wilayah dengan basis pada local development telah berhasilmenciptakan distrik-distrik industri yang berkembang dengan pesat dan mandiri.

“ Karena alasan itu, sangat mungkin gagasan itu disesuaikan untuk tujuan pengembangan wilayah di Kabupaten Solok dengan cara menarik pusat pemerintahan ke Aro suka, sehingga perimbangan aspek ruang dan jarak dengan pusat pemerintahan seimbang antara kawasan Utara,Tenggara dan Selatan.” ungkap Gamawan Fauzi berimprofisasi.

Air Panas Bukik Kili

Kolam pemandian Sekaligus Tempat Pengobatan Alternatif

Fungsi air pada bangunan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan karena itu banyak cara untuk memanifestasikan kedua wujud tersebut. Terlebih pada bangunan suci, keberadaan air memiliki peran yang penting dan keduanya menyatu secara utuh.

Realitas demikian membuktikan bahwa unsur air pada bangunan suci,seperti mesjid, bukanlah suatu kebetulan atau sesuatu yang tidak di sengaja, melainkan oleh ummatnya secara sadar memang dihadirkan disekitar bangunan yang disucikan. Di mesjid-mesjid di daerah kita (Sumatera Barat) bahkan kebanyakan pengadaan air merupakan sesuatu yang essensial karena mampu memberi manfaat yang dinamik pada dekorasi arsitektur masjid.

Namun berbeda, bahkan bisa dikatakan unik, karena keberadaan air di mesjid Al-Ihwan Bukik Kili, nagari Koto Baru, Kabupaten Solok, air dimanifestasikan dalam bentuk kolam pemandian umum, masing-masing berukuran sekitar 25 X25 meter, karena antara kolam pemandian perempuan dan kaum laki-laki terpisah oleh bangunan permanen.

Satu illustrasi alam hadir disitu karena sumber airnya yang konon berasal dari perut Gunung Talang, sehingga air yang muncul dengan debet yang relatif besar memiliki kadar belerang yang dominan, sehingga suhu air menjadi panas.

Tersebab oleh realitas alam tersebut, nagari Koto Baru kemudian seolah mendapat berkah, karena di jorong Bukik Kili terdapat sebuah tempat pemandian air panas yang memiliki fungsi ganda; untuk mensucikan diri bagi ummat yang beribadah di mesjid Al-ikhwan dan bahkan sebagai pengobatan alami bagi mereka yang mengalami penyakit tulang dan penyakit kulit.

Pengobatan Alternatif

Tidak ada catatan khusus tentang asal muasal aie angek Bukik Kili. Juga tidak terdapat keterangan resmi soal kadar belerang yang terkandung dalam air panas tersebut, apalagi keterangan soal manfaat mandi di air panas tersebut..

Tetapi faktor budaya telah memberi kepercayaan kepada kebanyakan orang untuk selalu datang ke pemandian air panas Bukik Kili bukan sekedar untuk mandi, tetapi sekaligus sebagai usaha pengobatan alternatif secara alamiah. Terutama mereka yang telah berusia lanjut, adakalanya menginap di lokasi pemandian untuk terapi kelumpuhan, serta untuk pengobatan penyakit kulit.

Sebagai suatu tempat pemandian yang banyak menarik minat pengunjung, Air Panas Bukik Kili serta merta menjadi bagian dari sekian objek wisata di Kabupaten Solok. Hal itu lebih membuktikan bahwa kekuatan kepariwisataan daerah penghasil beras itu adalah pada kekayaan alam yang terdiri dari pergunungan, danau dan budaya.

Sangat mudah untuk mengetahui dimana lokasi pemandian air hangat dimaksud. Bahkan Bukik Kili di nagari Koto Baru mempunyai akses dari berbagai arah perjalanan, termasuk transportasi yang tersedia sangat gampang memperolehanya.

Air hangat Bukik Kili, berada di nagari Koto Baru, kecamatan Kubung,Kabupaten Solok. Dari koto Solok cuma berjarak sekitar 7 Km dan hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit dengan kendaraan roda dua atau roda empat.

Sedangkan pengunjung yang datang dari arah kota Padang, pada Km 53 Km selepas nagari Cupak, di sebelah kanan lintas Padang Solok, anda bakal menemukan sebuah tugu bertuliskan nama mesjid Al-Ikhwan, berikut lokasi pemandian Air Panas Bukit Kili.

Sekitar 20 meter dari pinggir jalan raya, sebuah lokasi pemandian yang representatif dengan suhu airnya yang nyaris tak pernah turun bakal menghantarkan kita ke pesona alam yang sulit mencari tandingannya di kawasan Sumatera.

Untuk memasuki lokasi pemandian tersebut, tentu dengan membayar retribusi terlebih dahulu. “ Pengunjung memang dibebankan membayar retribusi sebesar Rp 500 perorang. Sebgai pengganti uang kebersihan,”ujar Damsiwar, salah seorang penjaga pintu masuk lokasi pemandian air hangat Bukit Kili.

Lelaki paroh baya yang cukup simpatik tersebut menyampaikan, besaran pungutan ke objek pamandian air panas sudah merupakan kesepakatan pemerintah nagari Koto Baru yang dituangkan dalam Peraturan Nagari (Perna) No.4 tahun 2002.

Damsiwar tidak tahu berapa persentase dari jumlah uang retribusi yang masuk perhari untuk pemerintah nagari dan berapa pembagian untuk mesjid Al-Ikhwan itu sendiri.. Namun yang pasti, rata-rata jumlah pengujung saban hari berkisar antara 100 sampai 150 orang .

“ Kebanyakan yang datang hari Sabtu dan Minggu. Pengunjung yang meramaikan pemandian Bukik Kili juga banyak dari daerah-daerah lain di Sumatera Barat, sepertii Payakumbuh, Bukittinggi dan Batusangkar bagai,” jelas Damsiwar seraya menyebutkan nilai nominal pemasukaan Keuangan setiap minggu hampir mencapai angka Rp 600.000.

Objek pemandian air panas Bukik Kili tidak hanya diperuntukkan buat kaum laki-laki. Kolam pemandian untuk kaum hawa pun tak kurang menariknya dibanding tempat pemandian laki-laki.

Kedua kolam pemandian tersebut lokasinya bersebelahan dan dibatasi dengan bangunan penginapan yang cukup representatif untuk sebuah tempat pengobatan alternatif.

Damsiwar menyebutkan, setidaknya tersedia 15 kamar untuk menampung pengunjung yang datang dari luar daerah atau bahkan diperuntukkan bagi orang yang melakukan terapi kelumpuhan dengan air hangat Bukik Kili.

“ Sewa kamar sehari sebesar Rp 10.000/orang,”papar Damsiwar.

Sepanjang pengataman penjaga pintu lokasi pemandian air hangat tersebut, rata-rata pengunjung yang sudah tua menghabiskan hari-harinya untuk melakukan pengobatan dengan menginap. Mereka yang melakukan terapi untuk penyembuhan penyakit tulang, rematik atau patah tulang bahkan ada yang menginap sampai satu bulan.

Tarmizi, salah seorang pengunjung yang telah hampir seminggu tinggal di penginapan Air Hangat Bukit Kili menuturkan, manfaat air hangat cukup besar dalam rangka pe nyembuhan penyakit tulang, bahkan penyakit kulit. Ia yang sengaja datang dari Bukittinggi untuk melakukan terapi dengan menginap di penginapan komplek pemandian guna memperoleh kehangatan air yang cukup tinggi pada subuh hari.

“ Sekitar jam 5 pagi saya sudah merendam diri, karena pada jam-jam itulah kehangatan air seperti merasuk kedalam tulang, “ujar Tarmizi yang mengaku mengalami gejala kelumpuhan pada kaki sebelah kirinya.

Mandi sambil berobat.

Pemandian air hangat Bukit Kili tentu tidak semata sebagai lokasi pemandian saja. Disamping mampu mengobati penyalit tulang dan bahkan penyakit kulit, pengunjung yang hadir juga kebanyakan hanya untuk menikmati panasnya pemandian di kaki gunung Talang tersebut. Karena itu, tidak bisa dielakkan bahwa pemandian air hangat Bukik Kili termasuk salah satu lokasi objek wisata di Kabupaten Solok. Dan konsekwensinya tentu saja,pihak Dinas Pariwisata dihimbau agar memasukkan lokasi ini dalam kalender kepariwisataan di daerah ini.

Tidak terlalu panjang memberi alasan kenapa pemandian air panas Bukik Kili butuh perhatian serius. Selain karena pengunjung yang datang kebanyakan memakai kendaraan pribadi, bahkan tidak jarang juga memanfaatkan kendaraan umum, yang aksesnya ke kota Solok cukup lancar.

Tetapi yang menjadi persoalan mendesak bagi pengurus mesjid Al-Ikwan tampaknya lebih kepada lokasi parkir. Dengan kondisi saat ini, keterbatasan lapangan parkir sangat menyulitkan bagi pengunjung untuk memarkir mobilnya secara nyaman, karena lokasi parkir selama ini hanya berada diujung jalan masuk kelokasi pemandian.

Dari pengamatan itu,jelas lapangan parkir menjadi hal yang mendesak. Kalau dibiarkan berkembang secara alami, seperti sekarang ini, pemandian air hangat Bukik Kili hanya sebatas tempat kunjungan biasa. Tetapi akan lebih menjadi objek wisata terkemuka kalau seandainya lapangan parkir disitu dikelola dengan sempurna dan tentu saja diperluas lokasinya.

” Lapangan parkir memang seadanya,” ujar Damsiwar tanpa mau berkomentar panjang tentang itu.

Inilah sebuah ironi dalam pengembangan kepariwsataan di Kabupaten Solok. Ketika pihak Pemerintah setempat jor-joran mengemukakan kehebatan objek wisata di daerah itu, dengan mengandalkan kekayaan alam, namun potensi objek wisata air hangat Bukik Kili yang hanya memerlukan sentuhan tipis saja, seolah terlupakan dari peta pengembangan wisata.

Dinas Pariwisata setempat mesti nya tersentuh untuk mengembangkan lokasi pemandian ini, meski itu hanya sebatas pengembangan lapangan parkir. Sehingga kesannya pembangunan kepariwisataan kabupaten Solok tidak terkesan normatif atau sebatas basa-basi, tetapi justru menjadi sebuah program nyata.

Semua tentu berharap, kelak para praktisi pariwisata, seperti biro perjalanan, memasukkan tempat pemandian air panas Bukik Kili sebagai salah satu lokasi kunjungan wisata di Sumatera Barat. Dengan cara seperti itu, suatu ketika kita memperoleh kepastian bahwa belum lengkap rasanya ke Solok tanpa menyinggahi pemandian air panas Bukik Kili